Jumat, 11 Desember 2009

Benar atau Salah, Yang Tertinggi atau Yang Terendah

Benar atau Salah, Yang Tertinggi atau Yang Terendah

Salah dan benar adalah pilihan, ataukah sebuah peraturan? Sekarang kita telusuri apa yang dimaksud dengan ‘Aturan berpikir benar’ yang dibicarakan oleh ‘ilmu logika’ . Sebagaimana sudah dibicarakan sebelumnya, logika bertugas untuk menjaga supaya kita bisa ‘berpikir secara benar’ , pertanyaan nya sekarang adalah, Apakah yang dimaksud dengan BENAR itu? Benar adalah persesuaian proposisi antara pikiran (fikr) dan kenyataan. Nilai dari suatu pernyataan disebut BENAR bila pernyataan itu sesuai dengan fakta kenyataan yang bisa diuji dan ditunjukkan keberlakuannya secara berulang-ulang (repeatable). Sekali saja ditemukan satu keadaan dimana hal itu tidak berlaku, maka pernyataan itu menjadi tidak lagi bernilai Benar alias SALAH.

Manusia bisa membedakan arti benar dan arti salah. Benar berarti tidak melanggar peraturan dan norma yang ada, sedangkan salah berarti melanggar peraturan dan norma yang ada di lingkungan tertentu. Karena setiap tempat memiliki peraturan dan norma yang berbeda. Tapi benar menurut kita bisa salah menurut orang lain. Karena pemikiran kita berbeda. Benar menurut manusia bisa salah menurut ALLAH swt.

Dalam kehidupan ini tentunya kita sadar bahwa ada yang tertinggi dan ada pula yang terendah misalnya dalam suatu struktur organisai yang tertinggi adalah ketua sedangkan yang terendah adalah anggota. Dan juga kita sadar bahwa setinggi-tinggi nya ilmu, jabatan dll yang dimiliki oleh manusia didunia ini sesungguhnya tidak mampu mengalahkan tingginya ilmu, jabatan, dll yang dimiliki oleh Allah SWT. Jadi jelas Tuhan lah yang tertinggi bila di bandingkan dengan mahluk-mahluk lainnya.Nilai kebenaran ilmu pengetahuan itu bersifat positif dalam arti sampai saat sekarang ini dan juga bersifat relatif atau nisbi dalam arti tidaklah mutlak kebenarannya. Kebenaran mutlak milik ALLAH, dan tempatnya salah adalah manusia.

Kutulis kata demi kata tulisan ini begitu yakin, dan yakin bahwa aku benar. Tetapi benar menurutku bisa salah menurut orang lain dan Allah. Jika aku berdiri di hadapan Allah dan Dia bertanya kepadaku, selama aku hidup apa yang sudah ku perbuat benar atau salah? Apa yang telah kau lakukan untuk mengabdi pada Tuhanmu yang telah menciptakanmu? Kau turuti perintah agamamu, ataukan kau turuti nafsumu?

Dari uraian diatas, kiranya kita bisa melihat fakta, betapa pentingnya mengetahui ilmu logika (mengetahui arti BENAR) , supaya kedepan kita tidak mudah untuk mengatakan yang ini ‘benar’ dan yang itu ’salah’ tanpa ada penjelasan apapun tentangnya.

Refferensi : http://parapemikir.com/salah-benar.html

http://www.mail-archive.com/filsafat@yahoogroups.com/msg00506.html

Batas Tanpa Batas

Otak manusia bisa memahami arti dari kata “batas.” Batas adalah pemisah, yang membagi sebuah teritori menjadi dua bagian: yang di dalam batas dan yang diluar batas. Kita hidup di bumi. Batas bumi adalah atmosfir yang ada disekeliling bumi. Di dalam atmosfir itu kita masih menyebutnya di dalam bumi. Di luar atmosfir itu kita sebut diluar bumi. Bumi ada di dalam sebuah galaxy. Galaxy ini pun memiliki batas, meskipun batas itu tidak selalu sebuah garis yang jelas.

Dapatkah manusia memahami keadaan tak terbatas? Tidak dapat. Bagi pikiran manusia, segala sesuatu pasti memiliki ujung / batas. Namun secara definisi, batas pasti memiliki sesuatu di luar batas. Ketakterbatasan menjadi tidak masuk di akal. Imajinasi manusia tidak sanggup memahaminya, tidak sanggup dalam arti sebenar2nya, bukan kiasan.

Di dalam batas adalah teritori kita, teritori yang kita kenal, yang kita miliki. Di dalam batas selalu ada sesuatu. Namun kita tahu bahwa di luar batas juga selalu ada sesuatu. Di luar batas bukanlah ketiadaan, namun sesuatu yang juga ada, yang belum kita kenal, yang bukan milik kita.

Di luar batas ada sesuatu. Namun ada masalah besar di sini. Ketika kita mendefinisikan sesuatu, maka sesuatu itu selalulah memiliki batas. Bahkan definisi itupun sebenarnya adalah sebuah batas. Sebutan yang kita gunakan selalu memiliki arti, atau mendefinisikan sesuatu. Arti atau definisi itu adalah batas, sehingga sesuatu yang memiliki sebutan selalu sesuatu yang terbatas. Setidaknya ia terbatas dalam persepsi atau imajinasi manusia. Sesuatu yang masih bisa dibayangkan manusia selalu memiliki batas. Sesuatu selalu terbatas.

Jadi kita mendapati situasi bahwa di luar batas selalu ada sesuatu. Dan sesuatu selalu memiliki batasnya sendiri. Jika demikian, batas dari sesuatu itu pasti menimbulkan adanya sesuatu yang lain diluar batas tersebut. Dan jika yg diluar batas itu adalah sesuatu, maka sesuatu itu akan memiliki batasannya lagi. Dan demikian seterusnya.

Jika diikuti terus, maka kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya kita ini hidup dalam dunia yang tak terbatas. Tak terbatas bukan berarti tak diketahui batasnya, tapi memang tidak ada batasnya. Setiap batas akan menimbulkan sesuatu di luar batas tersebut, dan ini tidak akan pernah berakhir. Inilah kondisi tak terbatas.

Masalah yang timbul adalah: dapatkah manusia memahami keadaan tak terbatas? Tidak dapat. Bagi pikiran manusia, segala sesuatu pasti memiliki ujung / batas. Namun secara definisi, batas pasti memiliki sesuatu di luar batas. Ketakterbatasan menjadi tidak masuk di akal. Imajinasi manusia tidak sanggup memahaminya, tidak sanggup dalam arti sebenar2nya, bukan kiasan.

Seperti halnya alam semesta, kita tidak akan pernah menemukan batasnya karena alam semesta itu tak terbatas. Sejauh apapun kita pergi, ya ruang kosong yang mewadahi galaxy itulah yang kita temui. Ruang yang bukan ruang, karena seharusnya ruang sendiri adalah sesuatu yang terbatas. Yang tak terbatas sebenarnya bukan hanya tak dapat dipikirkan, namun juga tak terkatakan. Semua yang bisa dikatakan, pastilah terbatas. Dan ketika kita mengatakan tentang takketerbatasan, itu adalah sebuah usaha untuk memahami sesuatu yang tak terpahami dengan bahasa kita. Dan sebutan apapun yang kita berikan, tidaklah pernah cukup untuk mewadahi atau merepresentasikan Itu. Mungkin di sinilah titik temu kita dengan pemahaman2 mistis / sufis. Dalam kemungkinan ini, setidaknya kita menemukan bahwa kita berada pada ruang atau konteks terbesar / terluas yang ada. Dan konteks itu ternyata tidak masuk akal, karena ketakterbatasan adalah tidak masuk akal dan alam semesta yang menjadi konteks kita itu tak terbatas. Jadi eksistensi kita ini ternyata berada pada ketidakmasukakalan. Kemasukakalan yang kita temui dalam hidup kita ternyata berada pada dan hanya merupakan bagian kecil dari ketidakmasukakalan. Ini sama dengan mengatakan bahwa batas2 yang kita lihat dan kenal sebenarnya berada pada dan hanya merupakan bagian kecil dari ketidakterbatasan.

Jika kita membandingkan dunia imajinasi yang diciptakan oleh otak kita dengan diri kita, maka kita dapat mengatakan bahwa ada dunia imajinasi yang tak terbatas itu ada dalam diri kita yang terbatas. Ketidakterbatasan bisa ada dalam keterbatasan. Dan keterbatasan itu ada dalam ketidakterbatasan. Dan seterusnya.

Jadi dua kalimat yang bertentangan seperti “ketidakterbatasan ada dalam ketidakterbatasan” dan “ketidakterbatasan ada dalam keterbatasan” menjadi tidak bertentangan. Menjadi sama2 benar, meski hal ini tidak selalu jelas bagi semua orang. Karena keterbatasan kita hanya dapat melihatnya sebagai sesuatu yang bertentangan. Siapa tahu suatu saat kita bisa melihat hal2 yang saat ini dianggap bertentangan atau tidak masuk akal suatu saat menjadi bisa dimengerti.

1. Kesimpulan dari tulisan ini adalah ternyata kita ini hidup dalam ketidakterbatasan dan merupakan bagian kecil dari ketidakterbatasan, namun kita hanya mampu melihat batas2 dan memanipulasi serta mengeksploit ada yang ada di dalamnya. Di luar batas selalu ada batas yang lain. Ketika kita mencoba membayangkan kondisi ketidakterbatasan, maka otak kita menemui tembok buntu. Mandek. Imajinasi kita tidak mampu membayangkan ketidakterbatasan. Ketidakterbatasan menjadi sesuatu yang tidak masuk akal – tidak dapat dimasukkan dalam akal. Dan karena ketidakterbatasan adalah konteks besar dari eksistensi kita, maka kita dapat mengatakan bahwa sebenarnya kita hidup dalam ketidakmasukakalan. Hal-hal yang masuk akal yang kita mengerti sebenarnya ada dalam ketidakmasukakalan. Dan mungkin perlu bagi kita untuk lebih bertoleransi kepada ketidakmasukakalan. Batas dan relativitas ilmu pengetahuan bermuara pada filsafat, dalam arti bahwa semua permasalahan yang berada di luar atau di atas jangkauan dari ilmu pengetahuan itu diserahkanlah kepada filsafat untuk menjawabnya.

Refferensi : http://filsafat.kompasiana.com/2009/11/24/batas-dan-tanpa-batas/

Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Diriku

Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Diriku

Seorang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kemestaan galaksi. Atau seorang, yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kemestaan yang ditatapnya. Karakeristik berfikir da yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.

Aku adalah seorang perempuan, Usiaku saat ini 24 tahun. Begitu pun usia anda yang sama denganku. Ketika aku melihat anak usia 5 tahun, maka di masa laluku di 19 tahun yang lalu sama dengan anak itu. Masih anak-anak. Agamaku muslim. Saat ini aku sedang menempuh kuliah pendidikan matematika di pasca sarjana UNY. Kutulis kata demi kata tulisan ini begitu yakin, dan yakin bahwa aku nyata. Saat ini aku masih menjadi beban kedua orang tuaku. Untuk saat ini orang tuaku hanya menginginkan aku belajar dengan baik dan secepatnya lulus dengan nilai yang bagus. Tugasku adalah belajar dan mencari ilmu lebih banyak lagi dan memanfaatkannya dengan baik. Ilmu yang di dapat bukan hanya untuk diriku tapi ingin ku bagikan kepada orang lain yang menginginkan ilmu yang sama atau lebih dari yang aku dapat dan ku punya. Saat ini belum banyak ilmu yang ku dapat, ilmuku masih sangat sedikit dan bisa dikatakan masih sangat kurang.

Setelah aku selesai kuliah, aku ingin mencari rizky dengan ilmu yang ku dapat. Aku ingin mengamalkan ilmu yang ku dapat dengan baik dan benar. Aku juga ingin berkeluarga dan mendapatkan suami yang bisa menjadi imam yang baik buat aku dan anak-anakku nantinya. Suami yang bisa jadi pendampingku di dunia dan di akhirat. Pasangan yang bisa saling meluruskan ketika kita mulai melenceng dari jalan yang di ridhoi Allah swt. Menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah. AMIN...

Selama ini aku sering bertanya kepada sahabat-sahabat dan orang-orang yang dekat denganku. Apakah sifat jelekku? Apakah yang kalian tidak suka dari diriku? Apakah kekuranganku? Aku sering bertanya seperti itu kepada mereka, tujuanku hanya ingin memperbaiki diriku agar lebih baik. Karna aku tidak bisa menilai diriku sendiri secara keseluruhan. Seperti pepatah lama “ Semut di pelupuk mata tak tampak, Gajah di tengah lautan nampak”. Dengan kata lain orang lebih tahu kesalahan orang lain daripada kesalahannya sendiri. Mungkin itulah Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Diriku yang bisa aku gambarkan. Kurang lebihnya mohon saran dan kritik. Trimakasih.

Refferensi : Jujun S. Suriasumantri, 2003 . Ilmu Dalam Perspektif : Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.